JANGAN LUPA YE NANTI MALEM PADE HADHIR MAJELIS RUTIN MALEM JUM'AT DI MARKAS GUBAH AL HADDAD

Selasa, 16 Agustus 2011

Mengupas Syahadatain dalam Rukun Islam



Bismillahirrohmanirrohim,   Catatan ini di buat di karenakan semakin me-rajalela-nya pemahaman jahil kaum syiah imamiyah itsna asyariyah yg dengan sengaja ingin mengeluarkan syahadat dari sendi rukun keislaman. maka dengan ini alfaqir sebagai penulis akan menjabarkan h...al hal yg insyallah menjadi bahan pemikiran dan fondasi keyakinan akidah umat islam Ahlussunah wal jamaah agar bisa mendepak pemahaman2 kurang senonoh oleh mereka mereka yg berusaha dengan giat utk menggerogoti akidah kaum Muslim.     Pada Rukun Islam: Syiah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam syiah, yaitu: 1.Shalat, 2.Zakat, 3.Puasa, 4.Haji, 5.Wilayah (perwalian) (lihat Al-Khafie juz II hal 18)     Muncul pertanyaan utk pengarang kitab dan pengamal kitab ini, kenapa alkulani dan pengikutnya sekarang ini berani-berani-nya mencabut hal dan ikrar paling sakral dalam keislaman ini?     Mungkin sebagian dari syiah akan menutupi dengan bertaqiyah bahwa berita ini adalah bohong, atau mereka akan membawakan hal2 dan yell2 propaganda ttg fitnah para agen CIA, yahudi, wahabi, salafi , israel , zionis dan hal hal tek tek bengek lainnya " kalau kalian dapati perilaku kekanak kanakan ini jangan kuatir, memang hal dan perkataan ini lumrah yg memang sudah di set, di rekam, dan di sematkan, dan di program kedalam otak mereka ibarat robot,      mari kita kupas satu persatu.....       1.Apa itu Rukun?   Istilah “Rukun” pada dasarnya merupakan hasil ijtihad para ulama untuk memudahkan memahami agama. Rukun berarti bagian sesuatu yang menjadi syarat terjadinya sesuatu tersebut, jika rukun tidak ada maka sesuatu tersebut tidak terjadi. Istilah rukun seperti ini bisa diterapkan untuk Rukun Iman, artinya jika salah satu dari Rukun Iman tidak ada, maka iman pun tidak ada. Adapun pada Rukun Islam maka istilah rukun ini tidak berlaku secara mutlak, artinya meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada.     apa kata rafidhoh setelah ini?? mereka mungkin berkomentar..   "tuuh kan benar....tidak adanya satu poin dalam rukun islam masih memungkinkan keislaman seseorang itu tetap ada, maka mereka pun berpikiran bahwa sudah hal lumrah lah bila syahadat tidak masuk kedalam rukun islam"   Alfaqir katakan : jangan senang dulu para rafidhoh..!! Apakah ini berlaku utk syahadat?? bagaimana kedudukan syahadat dalam islam? , sebelum masuk kedalam hal ini mari kita lihat apa definisi syahadat dan apa definisi islam   2. Apa itu syahadat?      Kalimat syahadat adalah bentuk ikrar seorang muslim dan pintu gerbang ke dalam Islam. Di dalam kalimat syahadat disebutkan :    Asyhadu alla ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadur Rasulullah. Dilihat dari makna kalimat tersebut terdapat dua pengertian penting, yakni: Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah SWT. dan Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.     Kita bisa di ambil kesimpulan mudah dan singkat, bahwa nama muhammad adalah satu kesatuan dalam syahadat. Artinya, nama Nabi Muhammad SAW bergandengan dengan syahadat, nama muhammad tidak bisa di keluarkan dari syahadat. Tidak bermakna kalimat syahadat tanpa nama Muhammad. Syahadat tidak bisa dipisahkan dengan nama baginda Muhammad SAW. Tidak akan terjadi kalimat syahadat tanpa nama Nabi besar kita Muhammad SAW. Kesimpulannya,...Nama Muhammad SAW merupakan syarat kalimat syahadat     Utk sementar Mari kita kesampingkan, selanjutnya mari kita lihat definisi Islam......          3. apa itu islam???   Islam dalam pengertiannya secara khusus adalah ajaran setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yg di bawa oleh beliau ( Rasulullah SAW ). Ajaran beliau menasakh (menghapus) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikuti beliau menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim.    Tidak bisa dipungkiri bahwa nama mulia Baginda Nabi Muhammad SAW tidak terlepas dari nama Islam, berikut contoh :    Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa ‘alaihis sallam, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa ‘alaihis sallam. Namun ketika telah diutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka harus mengikuti Aturan Muhammad SAW, selanjutnya hukum mereka telah di hapus, maka jika kemudian mereka ( yahudi atau nasrani ) mengkufurinya, maka mereka bukan jadi orang muslim lagi. Nama Muhammad SAW adalah sebagai pintu baru bagi pengikut nabi musa dan nabi isa utk memperbarui ke-islaman mereka.   Artinya, Yahudi dan Nasrani  tidak bisa dikatakan Islam bila tidak mengakui muhammad SAW utusan allah. Ini artinya apa? artinya , Perbedaan Islam dengan agama lain yaitu adalah dalam ikrar "kesaksian bahwa muhammad adalah Rasulullah". Artinya lagi, utk menjadi islam, setiap individu muslim harus mengakui kesaksian akan "muhammad adalah Rasulullah". Bila mereka percaya "Nabi Muhammad utusan allah" maka mereka islam, jika tidak percaya akan "Nabi muhammad utusan allah", maka mereka bukan islam. Ini memposisikan nama Nabi muhammad  dan islam tidak dapat dipisahkan...Nama islam dan Nabi muhammad saling bergandengan... nama islam dan muhammad tidak dapat di pisahkan...Tidak sah ke islaman seseorang jika tanpa mengakui dan bersaksi bahwa "muhammad utusan allah". Intinya muhammad merupakan syarat keislaman seseorang     Alhamdulillah kita tahu di awal bahwa bagian dari  syahadat adalah " Nabi muhammad SAW", dan syarat keislaman adalah diakuinya nama dan status "Nabi Muhammad SAW" dlm islam.....subhanalah Nama Muhammad adalah yg menghubungkan syahadat dengan islam....artinya utk menjadi islam di syaratkan mengakui "nama muhammad SAW"  sedangkan nama muhammad SAW adalah satu kesatuan dalam kalimat syahadat. Alhamdulillah ini membawakan kepada satu pemahaman indah bahwa syahadat tidak dapat di pisahkan dari syarat keislaman. Mengapa?? karena memisahkan syahadat dari syarat keislaman, sama saja dengan memisahkan Muhammad dari Keislaman. Ini mustahil....karena di awal tadi para pembaca sudah mengetahui bahwa tidak sah keislaman seseorang bila tidak mengakui "nama nabi Muhammad" dalam ikrar   Jadi syahadat itu merupakan syarat/rukun keislaman   berikut saya ulangi sekali lagi......     Jika ada yang beranggapan utk mengeluarkan syahadat dari rukun islam itu artinya, mereka mengeluarkan Nabi muhammad dari rukun islam, karena pengakuan "nama Nabi Muhammad" adalah syarat sahnya bersyahadat. Mengeluarkan syahadat dari syarat keislaman, artinya memposisikan nama muhammad di luar syarat keislaman. Sedangkan memposisikan Nama Muhammad diluar syarat/rukun Islam mengakibatkan TIDAK SAH NYA keislaman seseorang . Tidak di katakan Islam seseorang jika tidak mengakui/ memposisikan Muhammad di luar syarat/ rukun islam itu sendiri,  naudhubillah mindhalik, insyallah kita di jauhkan dari fikiran2 seperti rafidhoh bersama kitab alkafinya sebagai rujukan...utk mengeluarkan nama Nabi Muhammad dari syarat-syarat keislaman   Luar biasa! Syahadat itu cukup krusial dalam menjadi pokok status keislaman, Ibarat islam berada di dalam suatu kotak, nama Muhammad, syahadat, dan islam adalah satu kesatuan yg membatasi agama-agama lain utk "berada di luar kotak" itu......   Tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah seperti hal nya dahlu kala zaman Nabi Musa dan Isa. Karena jelas, mereka tidak mengakui "muhammad utusan Allah" di mana pengakuan itu berada di dalam syahadat. Jadi yang tidak bersyahadat mereka bukan Islam !!, sebab Allah Ta’ala berfirman:    “Sesungguhnya Dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” [Ali-Imran: 19]   dan  Allah Ta'ala berfirman :      “Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya.” [Ali-Imran: 85]   Rasanya Ini adalah nash yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pemeluk Islam. syariat muhammad menjadi pembatas islam dan kafir, karena muhammad satu kesatuan dengan syahadat , maka syahadat merupakan pembatas pula atas islam dan kafir. jadi begitulah kiranya kedudukan penting Syahadat dalam islam dan pentingnya kedudukan muhammad dalam syahadat sehingga memposisikannya syahadat menjadi suatu syarat   Jadi kenapa masih ada orang-orang jahil yg ingin mengeluarkan syahadat dari Syarat/rukun Islam, apa bila ternyata Syahadat itu sendiri sangat penting dan pokok posisinya dalam ISlam??   Bila di awal tadi para Syiah Rafidhoh Imamiyah mulai berpikir jahil bahwa... "meskipun salah satu Rukun Islam tidak ada, masih memungkinkan Islam masih tetap ada". Dan ini di jadikan dalil pembenaran bahwa "syahadat boleh keluar dari rukun islam", ini adalah tindakan jahil tiada tara dan tidak terbukti, keluarnya syahadat dari rukun/syarat keislaman mengakibat, tidak diakuinya status keislaman seseorang. kaidah "mengeluarkan" syahadat dari rukun Islam akan membawa kericuhan karena mengakibatkan terbukanya pembatas antar orang-orang kafir dan orang-orang islam ^_^     Dari uraian diatas terbukti tidak patut bahwa syahadat di keluarkan dari syarat/rukun keislaman.   Lalu apa kiranya tindakan para rafidhoh utk ngeles dan berputar putar utk mencari lubang pembenaran sifat jahil mereka bersama alkafi sebagai rujukan....sudah umum bahwa pikiran orang syiah akan menyesatkan umat, maka mereka syiah Rafidhoh akan berkata bahwa syahadat itu wajib dan penting tapi  syahadat itu adalah masalah keimanan dalam hati, tidak perlu di proklamirkan, dan ini demi mencegah riya atau pamer..jadi sebenarnya syahadat ini bukanlah tepat sebagai rukun islam melainkan rukun iman....    waaw...ini sebenarnya adalah salah satu penistaan akan ajaran sunni secara tidak langsung...karena dengan kata lain mereka beranggapan bahwa selama ini umat islam selain syiah sunni pada khususnya salah paham dalam berakidah?? ^_^   Benarkah seperti itu??benarkah bahwa syahadat adalah rukun iman bukanlah islam? sebelum saya jabarkan, perlu di ketahui, bangsa Arab lebih dahulu menjadi islam dibanding dengan Persia...selanjutnya maka mari kita bahas, apa perbedaan iman dan islam. Untuk membedakan mari kita tilik...     4. Agama Islam mencakup tiga hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara masalah lahir, sedangkan Iman berbicara masalah batin, dan ihsan mencakup keduanya. Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Islam. Tidaklah ke-Islam-an dianggap sah kecuali jika terdapat padanya iman,      Melihat kalimat terakhir, mungkin ada sebagian SYiah Rafidhoh akan menyentil dengan meletakkan keraguan, dengan perkataannya :  " tuuuuh kan ternyata benar....iman level nya di atas Islam, jadi kenapa ngga syahadat masuk ke dalam rukun iman, justru itu memposisikan syahdat lebih tinggi kedudukannya "......sehingga itu lah yg menjadikan sebab syiah tidak mencantumkan syahdat dalam rukun mereka...karena posisinya seharusnya rukun iman...   Alfaqir katakan, jahil pada orang-orang syiah rafidhoh seperti ini yg memposisikan Logika setan diatas ilmu...kenapa alfaqir sebutkan logika setan?? karena memang logika, tempatnya setan bermain menyesatkan setiap Individu Islam simak berikut ini :          5. jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zhahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan, contoh :   syahadat perlu di ucapkan dengan lisan, solat harus dilakukan dengan menggerakkan anggota badan. Puasa, zakat, dan haji, semuanya amal perbuatan yg membutuhkan gerakkan anggota badan. Jadi sebenarnya syahadat itu memiliki dua makna, yaitu dari segi keimanan yaitu meyakini dengan jujur dan ikhlas, namun disisi lain yaitu mengucapkannya dengan lisan, dengan kata lain, meng-ikrarkan-nya....   Masih kurang puas, Syiah Rafidhoh Imamiyah bertanya, mana buktinya??bukankan kita di ajarkan nabi utk tdk pamer, keimanan bukanlah pameran, kata sebagian Rafidhoh yg "sok tawadhu" ^_^   Rasulullah menggolongkan syahadat itu adalah amal-amal perbuatan zahir yg tempatnya adalah dalm Rukun islam! simak berikut :    Rasulullah bersabda :  “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)   Subhanallah!, coba liat...Rasulullah SAW mengajak umat islam utk mau berpikir kritis dgn gaya berpikir orang islam, bukan gaya berpikir zoroaster atau majusi. Dari hadits diatas saja sudah dapat di tangkap, bahwa... Rasulullah memisahkan antara syahadat dan solat. Dan kalau pembaca teliti ternyata point-point pada hadits Nabi diatas yg adalah point-point dalam Rukun umat islam sekarang ini....         6. knp sih rasulullah menyebut syahadat terpisah dengan solat ya? ^_~   jawab : karena ini pembuktian bahwa rasulullah ini sebenarnya mau mengajarkan Umat islam pada umumnya utk berpikir dan menegur umat syiah yg jahil pada khususnya utk belajar bertobat dari kebiasaan pemikiran-pemikiran picik mereka ( syiah ) bahwa :   "alasan syiah dengan alkafinya tidak memasukkan syahadat kedalam rukun syiah karena syiah itu konon katanya "cerdik berpikir" dan "selangkah lebih maju" sehingga seakan-akan hanya merekalah salah satu golongan yg tau jikkalau  "dalam solat itu sudah ada syahadat , jadi utk apalagi bersyahadat? karena setiap orang solat pasti bersyahadat.   maka alfaqir katakan :begitulah umat2 syiah pemalas beribadah dan merasa diri mereka adalah orang2 yg berpikir efektif dalam segala hal  (termasuk "efektif" dalam hal kawin ( mut'ah ),dan "efektif" dalam menggabungkan solat (3 waktu saja) ,dan lain lain )  ^_^    Alhamdulillah wa syukrulillah !! Hadits diatas membuktikan kesalahan opini jahil para Syiah Rafidhoh ini, ternyata Rasulullah memisahkan syahadat dari pada solat. Sebelum org mengerjakan shalat maka dia harus masuk Islam terlebih dulu karena jika tidak, maka walaupun dia shalat maka shalatnya tidak sah. Jadi syahadat bukan dari pamer/riya atau bentuk "tawadhu palsu" ala syiah, TETAPI memang syahadat adalah syarat keislaman di luar solat!    Alhamdulillah segala puji bagi allah sang pencipta semesta alam, sang pencipta keadilan, dan sang pencipta kebenaran! semakin jelas! dan tidak ada keraguan lagi bahwa Syahadat ini mencakup lahir dan batin, selain di yakini dalam hati dan dimani, tetapi harus di ucapkan juga dengan lisan...,Oleh karena itu jika seorang syiah jahil berkata bahwa syahadat hanya masalah Rukun iman bukan Islam itu adalah opini jahil. Mengucapkan kalimat syahadat, harus dikuti dengan kejujuran, keikhlasan, dan diucapkan dengan lisan..   Masih belum kapok dalam menyesatkan pikiran orang...mungkin sebagian syiah rafidhoh imamiyah mencari akal2an lain lagi. maka mereka meletakkan keraguan pada hati umat islam sebagaimana halnya iblis/ setan meletakkan keraguan pada hati2 orang kafir utk memeluk agama islam. sehingga Rafidhoh pun berkata, "kok bayi yang lahir islam gak perlu bersyahadat lagi sih??    waaw ....sekilas, seakan-akan perkataan mereka masuk akal, dan secara tidak langsung orang awam pun malah menjadi ragu akan keislaman mereka, dan mulai tersesat pikiran "oh iya ya...benar masuk akal juga ya...kalau syahadat adalah keimanan."..saya katakan itu bisikan syaiton, biarlah bisikan syaithon berlalu bagaikan hembusan angin malam yg hilang di pagi hari....^_^. justru ini semakin memperjelas bagaimana perilaku orang2 yg mendewakan Logika di atas ilmu...dimana logka itu tempat berkecimpungnya setan.           7. Kenapa bayi yang lahir Islam tidak perlu bersyahadat lagi?     maka jawaban utk subhat syiah ini :    Adapun anak yang asalnya memang sudah muslim -karena sudah keturunan (orang tuanya muslim) misalnya-, maka ketika dia baligh tidak perlu bagi dia untuk mengucapkan syahadatain. Hal itu karena fitrahnya adalah Islam dan fitrahnya itu tidak mengalami perubahan karena kedua orang tuanya muslim. Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Setiap anak yang wafat wajib dishalatkan sekalipun anak hasil zina karena dia dilahirkan dalam keadaan fithrah Islam, jika kedua orangnya mengaku beragama Islam atau hanya bapaknya yang mengaku beragama Islam meskipun ibunya tidak beragama Islam selama anak itu ketika dilahirkan mengeluarkan suara (menangis) dan tidak dishalatkan bila ketika dilahirkan anak itu tidak sempat mengeluarkan suara (menangis) karena dianggap keguguran sebelum sempurna, berdasarkan perkataan Abu Hurairah radliallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa   Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:   مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ    “Tidak ada seorang anakpun yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1270)   Kesimpulan : Bayi itu fitrah dalam agama islam, bukanya seperti umat nasrani yg beranggapan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa sampai sampai perlu di baptis segala ^_^. jadi sejauh ini , anggapan  tentang penghapusan syahadat oleh syiah dengan alkafi nya lah yg mengakibat mereka ini sekarang berlumuran dosa. Semoga allah memberikan hidayah dan mengampuni dosa-dosa penipuan kaum syiah imamiyah itsna asyariyah yg terlalu meng-ada-ada     Setelah berpanjang lebar, pada akhirnya dari semua itu rasanya ada hal yg sangat lucu dan yg membuat alfqir dan mungkin pembaca lain penasaran dengan alasan Syiah Rafidhoh imamiyah dgn alkafie mengeluarkan syahadat dari rukun islam ......"kenapa sih syiah sangat mati-matian sekali ingin mengeluarkan syahadat dari rukun islam...?"         8. Apakah karena riwayat hadits ini??   Dari Umar bin khattab rodhiyallohu’anhu, beliau berkata:   Pada suatu hari ketika kami duduk di dekat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan rambutnya sangat hitam. Pada dirinya tidak tampak bekas dari perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Kemudian ia duduk di hadapan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu mendempetkan kedua lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, kemudian berkata:   ”Wahai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.”   Kemudian Rosululloh shollallohu’alaihi wasallam menjawab: ”Islam yaitu: hendaklah engkau bersaksi tiada sesembahan yang haq disembah kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh. Hendaklah engkau mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke rumah Alloh jika engkau mampu mengerjakannya.”   Orang itu berkata: ”Engkau benar.”   Kami menjadi heran, karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkannya.   Orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang iman”. (Rosululloh) menjawab: ”Hendaklah engkau beriman kepada Alloh, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir, dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir yang baik dan yang buruk.”   Orang tadi berkata: ”Engkau benar.” Lalu orang itu bertanya lagi: ”Lalu terangkanlah kepadaku tentang ihsan.” Rasulullah SAW menjawab: “Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.”   Orang itu berkata lagi: ”Beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat.” (Beliau) mejawab: “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.”   Orang itu selanjutnya berkata: ”Beritahukanlah kepadaku tanda-tandanya.”   (Beliau) menjawab: ”Apabila budak melahirkan tuannya, dan engkau melihat orang-orang Badui yang bertelanjang kaki, yang miskin lagi penggembala domba berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan.”   Kemudian orang itu pergi, sedangkan aku tetap tinggal beberapa saat lamanya. Lalu Nabi shollallohu ’alaihi wasallam bersabda: ”Wahai Umar, tahukah engkau siapa orang yang bertanya itu ?”.   Aku menjawab: ”Alloh dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui.” Lalu beliau ( Rasulullah SAW) bersabda: ”Dia itu adalah malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.”(HR. Muslim).         Apakah ini  salah satu sebab kenapa syiah menolak syahadat sebagai bagian dari Rukun Islam?^_^....karena perawi nya adalah sayyidina Umar bin khattab alfarouq,.....seorang yg paling di benci oleh agama syiah rafidhoh imamiyah..karena dengan gemilang di zamannya telah berhasil menghancurkan dan memporak porandakan pasukan persia sehingga bertekuk lutut bersyahadat??   loh.. loh... loh...?*_* .Ternyata prestasi sayyidina umar berimbas kepada persia jatuh dan bersyahadat masuk islam??......oooooh...ternyata persia bersyahadat masuk islam selepas dihancurkan oleh pasukan islam yg di pimpin Sayyidina umar bin khattab ? Apakah ini yang mengakibatkan dendam kesumat orang2 IRAn dan syiah utk mengeluarkan syahadaat dari Rukun Islam?? ^_^       Lalu, apa yg di ragukan lagi?? Riwayat hadits terakhir ternyata bukti bahwa yg memasukkan syahadat kedalam rukun islam sehingga berjumlah 5 seperti halnya umat islam yakini sekarang ini ternyata adalah Rasulullah sendiri?? apalagi riwayat diatas juga lengkap dengan point rukun iman yg berjumlah 6 seperti saat ini umat islam yakini. Dari percakapan Rasulullah dengan malaikat jibril semakin mengukuhkan bahwa, Syahadat adalah bagian dari Rukun/Syarat islam yg berjumlah 5 dan Syahadat bukan bagian dari Rukun Iman dimana Rukun iman adalah 6, bukan berjumlah 5 seperti seperti yg di yakini oleh Kaum SYiah Rafidhoh Imamiyah   tercela lah orang2 yg mendustakan hadits2 nabi SAW ^_^     Dari masalah yg sangat pokok ini tentang  syarat/ rukun keislaman amat sangatlah jelas bahwa akidah ahlussunah wal jamaah memang tidak bisa bersatu dengan akidah syiah imamiyah itsna asyariyah...   kalaulah adalah seorang islam menyerukan persatuan dalam tubuh islam...itu adalah lumrah dalam bentuk lahir atau sosial keseharian...., namun dalam segi lahiriah keimanan, keyakinan, bahkan dalam segi syariat keislaman,,..rasanya islam memang berbeda dengan syiah, pahit untuk di akui, namun terimalah dengan lapang dada atas perbedaan ini yg amat sangatlah paling sakral ini....^_^         berkat kemurahan Allah SWT lah saya di sempatkan utk menulis ini, Hukum Allah SWT lah yg membuktikan  kebatilan dan kesesatan agama Syiah rafidhoh imamiyah itsna asyariyah ttg prihal "syahadat" ini...   Mari kita umat islam agar tetap selalu mendoakan agar teman-teman, sanak saudara, dan ulama2 syiah yg terus menerus menyesatkan Umat Muhammad SAW itu segera di bukakan pintu tobat dan cahaya hidayah dan makrifat kepada Alllah SWT dengan sebenar -benarnya..Amin ya robbal alamin         Adanya kebenaran datangnya dari allah jikalau ada kekhilafan datanya dari alfaqir.   Assalamualaikum. Ali Alaydrus AsSakran

Minggu, 14 Agustus 2011

INSIDEN KOJA TANJUNG PRIOK


Sejak pagi kemarin HATIKU BERSEDIH. Selesai SHALAT SHUBUH kubersiap mengantarkan ORTU yg berdagang di dlm POOL TAXI BLUE BIRD KELAPA GADING. Kwn ku mengirim sms suruh LIHAT TV ONE trnyt akan ada EKSEKUSI di Makam Mbah Priok. Langsung ku MELUNCUR KESANA. Trnyt sdh bnyk PENJAGAAN dari BRIGADE SATGAS POL PP didekat PERTAMINA JAMPEA. Jalanan MULAI MACET. Aku pun PULANG krn SEMALAMAN tdk TIDUR. Aku pun memantau PERKEMBANGAN via MEDIA ELEKTRONIK. Trnyt terjadi CHAOS pd sore hari MENJELANG ASHAR. Inna LILLAHI wainna ILAIHI Raji'un. Musibah buat warga TANJUNG PRIOK. Mengingatkan ku di wkt KECIL pernah BERLARI-LARI melihat TANK2 lewat depan rumah sewaktu KEJADIAN PRIOK AMIR BIKI thn 1983 bln SEPTEMBER. Khawatir SEJARAH TERULANG KEMBALI. Bnyk org mjd KORBAN BERSIMBAH DARAH terkena PELURU yg diletuskan oleh APARAT KEAMANAN yg merupakan perintah LB.Moerdani. Ini adalah simbol agar kita sama2 MAWAS DIRI menahan AMARAH serta NAFSU ANGKARA MURKA. Memang TUJUANNYA BENAR tapi CARANYA SALAH. Balas Dendam akan BERKELANJUTAN krn ada KORBAN dari kedua BELAH PIHAK. Waspadalah saudaraku KHAWATIR ada PROVOKASI OKNUM MASSA utk MENJARAH RUMAH2 WARGA. Yaa ALLAH apakah ini UJIAN ataukah PERINGATAN yg ENGKAU berikan kpd kami...??? Yaa ALLAH Curahkan
RAHMATMU kpd KAMI. Dinginkan HATI KAMI dgn SIRAMAN AIR HUJAN-MU. Jauhkan kami dari sifat BALAS DENDAM utk MENYAKITI SESAMA. Bukakan hati kami dgn KASIH SAYANG-MU. Wahai SATGAS POL PP = Muhasabah-lah KALIAN walaupun KALIAN hny sekedar MENJALANKAN PERINTAH. Wahai WARGA TANJUNG PRIOK = kembalilah ke rmh masing2. Berdoalah supaya TANJUNG PRIOK dijauhkan dari BALA' BENCANA yg LEBIH BESAR. Smp saat ini ku msh melihat di TV ONE pembakaran thd MOBIL2 PLAT MERAH milik pemerintah. Wahai BIROKRASI = secepatnya lakukan MEDIASI antar PIHAK2 YG TERKAIT dgn INSIDEN KOJA. Buat SURAT PERNYATAAN agar semua pihak DPT MENAHAN DIRI dari BALAS DENDAM pasca INSIDEN KOJA. Bukankah ISLAM menganjurkan agar kita MENDAHULUKAN MUSYAWARAH DLM SETIAP URUSAN. Agar tercipta suasana yg DAMAI KONDUSIF. Yaa ALLAH SELAMATKANLAH KAMI

Curhatan sang Ust. Muhammad Fahdian Akbar (Lagoa) 

Minggu, 07 Agustus 2011

Habaib Berpengaruh Di Indonesia

Abdul Qadir Umar Mauladawilah
RM29.50
Pustaka Bayan

Isi Kandungan:

Pengertian Alawiyin
Mencintai Keluarga Nabi
Imam Ahmad al-Muhajir
Thriqah yang Damai
Asal-Usul Walisongo
Habib Husein bin Abubakar al-Aydrus, Luar Batang, Jakarta
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas, Pekalongan
Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, Empang, Bogor
Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Surabaya
Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Bondowoso
Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Gresik
Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang, Jakarta
Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir al-Haddad, Bogor
Habib Husein bin Muhammad bin Thohir al-Haddad, Jombang
Habib Jakfar bin Syaikhan Assegaf, Pasuruan
Habib Ali bin Husein al-Attas, Jakarta
Habib Idrus bin Salim al-Jufri, Sulawesi Tengah
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih, Darul Hadis, Malang
Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus, Surabaya
Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, Jakarta
Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid, Tanggul, Jember
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Mekah, Saudi Arabia

sumber : http://tamanhabaib.blogspot.com/2009/03/17-habaib-berpengaruh-di-indonesia.html

KH. ZAINUDDIN MZ

Jakarta - Umat Islam baru saja kehilangan pemimpinnya, KH Zainudin MZ. Media meliput kepergian ulama bergelar Kiai Sejuta Umat berulang kali. Liputan beragam mulai dari berjubelnya jamaah yang ikut menyalati jasad KH Zainuddin MZ, kenangan para sahabat, profil dan perjalanan hidup sampai pesan terakhirnya kepada sang pemimpin negeri ini dalam ceramahnya yang disiarkan oleh tvOne pada 3 Juli (2 hari sebelum kematiannya). KH Zainuddin MZ sangat dekat dengan umat. Pidatonya mudah dicerna, berisi tentang kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara yang disampaikan melalui 'humor menggigit'.

Tulisan ini ingin merefleksi pengalaman penulis bergumul dengan almarhum, meski tidak secara langsung. Ketika itu tahun 1994, tak hanya kaset-kaset berisi siraman rohani KH Zainuddin MZ yang sampai ke desa-desa namun sebuah buku setebal kira-kira 350 halaman juga menyapa umat Islam. Buku berjudul 'KH Zainuddin MZ: Dai Sejuta Umat' (1994) ini mengupas tentang perjalanan hidup dan pemikiran dakwah.

Membaca kalimat per kalimat dalam buku ini akan membuat kita seperti berada dalam 'rasa nyaman' kedirian kita sebagai bangsa Indonesia. Nilai-nilai nasionalisme dengan beragam kekayaan pemikiran tokoh-tokoh bangsa ini telah mengilhami lahirnya sosok KH Zainuddin MZ yang kita kenal sebagai dai sejuta umat. Dalam buku 'KH Zainuddin MZ: Dai Sejuta Umat' tergambar dalam dirinya menyatu empat figur tokoh Indonesia yang fenomenal.
Pertama, Soekarno. Sejak kecil KH Zainuddin MZ mengagumi gaya orator Bung Karno yang tampil berani, gagah dan dapat memikat perhatian berjuta-juta rakyat Indonesia. Buku-buku maupun majalah yang mengupas tentang pemikiran bung Karno tak pernah lepas dari kehidupan KH Zainuddin sejak usia sekolah.

Di kala usianya masih 5 tahun, KH Zainuddin MZ kecil memiliki hobi mengikuti Ibunya Zainabun ke pasar. Postur tubuhnya dengan kulit putih dan mata sipit membuat gemas para pedagang Cina di Pasar. Di tengah-tengah kegaduhan pasar itulah, KH Zainuddin MZ kecil kerap naik di atas meja milik pengusaha Cina. Dengan mimik muka serius, KH Zainuddin MZ kecil menirukan gaya pidato Bung Karno. Hobinya naik meja dan berpidato dengan suara lantang juga dilakukan di depan para tamu yang kerap bertandang ke rumah kakek-neneknya.

Kedua, KH Idham Khalid. KH Zainuddin MZ bersentuhan langsung dengan pemimpin NU (1952-1984) ini ketika menuntut ilmu di Madrasah Tsanawiyah hingga tamat Aliyah Perguruan Darul Ma’arif yang dipimpin langsung oleh KH Idham Khalid. Semua tindak-tanduk KH Idham Khalid menarik perhatian KH Zainudin MZ. Kala itu KH Idham Khalid dikenal sebagai singa podium meski bertubuh kecil.

Dalam buku 'KH Zainudin MZ: Dai Sejuta Umat' terbitan tahun 1994 ini, KH Zainudin MZ mengkisahkan ada seorang ulama yang dicintai umatnya. Ketika sang ulama tersebut dalam tausiyahnya (pidatonya) menceritakan kesedihan, hampir semua jamaah menangis. Dan jika sang ulama tersebut mengkisahkan kabar gembira, semua jamaah juga tampak wajah berseri. Ulama seperti ini menurut KH Zainuddin adalah ulama yang patut diteladani karena keikhlasannya, karena kedalaman ilmunya, karena kedekatannya pada Allah. Penulis baru memahami ulama yang dimaksud oleh KH Zainuddin MZ adalah
guru yang dihormatinya di Perguruan Darul Ma'arif tersebut.

Selain dikenal sebagai singa podium, KH Idham Khalid juga dikenal sebagai pelobi ulung. Bakat sebagai orator dan pelobi ulang KH Idham Khalid secara perlahan-lahan dipelajari oleh KH Zainuddin MZ kecil. Di banyak kesempatan saat-saat sekolah di Perguruan Darul Ma'arif, KH Zainuddin MZ kecil sering tampil di hadapan teman-temannya dengan beragam 'guyonan' khas Betawi. Dalam setiap kali tampil, KH Zainuddin MZ kecil dapat memukau perhatian teman-temannya.

Ketiga, Buya Hamka. Sejak muda, KH Zainuddin MZ sangat gandrung dengan karya-karya sastra Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Ketertarikan KH Zainuddin MZ pada sosok Hamka bukan semata karena sang tokoh adalah sastrawan. Selama hidupnya Hamka selain dikenal sebagai sastrawan Indonesia, juga sekaligus ulama, dan aktivis politik. Dari karya-karya Hamka yang memuat tentang sastra Indonesia inilah, sosok KH Zainuddin MZ belajar bagaimana memilih dan memilah bahasa yang sesuai dengan 'diksi', bahasa yang kelak digunakannya untuk 'mencubit' namun tidak merasakan sakit.

Hamka yang dalam hidupnya otodidak dalam ilmu pengetahuan mengilhami KH Zainuddin MZ juga melakukan hal yang sama. Apa yang dipelajari Hamka mulai dari filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat juga dipelajari oleh KH Zainuddin MZ. Termasuk kemahiran Hamka dalam bahasa Arab juga menginspirasi KH Zainuddin remaja. Karya-karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah yang tuntas dipelajari Hamka, juga dilanjutkan oleh KH Zainuddin MZ di usia muda seperti karya-karya Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal.

Keempat, KH Syukron Makmun. Pimpinan Pondok Pesantren Darul Rahman Jakarta Selatan ini juga idola KH Zainuddin MZ. Keberanian KH Syokron Makmun mengilhami proses pembelajaran KH Zainuddin MZ membentuk karirnya di atas podium. KH Syukron Makmun dikenal sebagai ulama yang berani mengkritik pemerintah Orde Baru. Dalam sebuah cerita dari para santri-santrinya, KH Syukron Makmun kerap menjadi sasaran tembakan misterius namun berkat kedekatannya sang Kiai kepada Allah tembakan tersebut tidak pernah kena sasaran. Selain berani, KH Syukron Makmun juga dikenal sebagai ulama yang disiplin dalam mendidik para santrinya.

KH Zainudin MZ sejak mudanya berkomitmen mengintegrasikan nilai-nilai, bakat dan kelebihan dari masing-masing empat figur tersebut di atas dalam kepribadiannya dan akhirnya lahirnya figur Dai Sejuta Umat. Pesannya yang bisa ditangkap dari buku 'KH Zainuddin MZ: Dai Sejuta Umat (1994)', bagi generasi muda adalah dalam rangka berproses 'menjadi' kita bisa belajar dari kepribadian banyak tokoh yang punya pengalaman dan makan garam kehidupan, namun dalam 'endingnya' kita harus tampil dengan kepribadian yang khas bukan jiplakan dari tokoh-tokoh tersebut. Hal tersebut ada dalam kepribadian KH Zainuddin MZ.

Dalam seni orator, mungkin ia belajar dari Bung Karno. Soal nilai Islam dalam dakwah, KH Zainuddin MZ belajar dari KH Idham Khalid. Dalam hal seni berbahasa, KH Zainudin MZ berguru otodidak dari pemikiran Hamka. Dan keberaniannya mengkritik apa pun, KH Zainuddin MZ belajar dari KH Syukron Makmun. Ada satu nilai yang sama dan menjadi prinsip dari keempat tokoh tersebut yang juga diterapkan oleh KH Zainuddin MZ dalam berdakwah yakni 'agar apa yang kita sampaikan diterima di hati umat, maka sampaikanlah dengan hati'. Selamat jalan Dai Sejuta Umat.

*) Susianah Affandy adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB.
Komp. Dosen IPB Jalan Melati No 1 Darmaga, Bogor
susianah.affandy@yahoo.com 081399236046

Minggu, 20 Februari 2011

Bid'ah


Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

Macam-Macam Bid’ah

Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah

Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):

1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.

Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.

6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.

7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:

هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).


Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)

2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!

Maulid Nabi Muhammad SAW

Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.
Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.
Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

Hukum Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari bid’ah hasanah. Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang sejalan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.


Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi

1. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam. Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم في صحيحه)

“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).

Faedah Hadits:

Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.

2. Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah.

3. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:

أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ

“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.

Faedah Hadits:

Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.
Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.

4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:

ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ

“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR Muslim)

Faedah Hadits:

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.
Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah ini.




Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah

1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.

“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.

2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.

“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.

3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:

لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.

“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”.
Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya” .

Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:

إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.

“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.

Orang-orang anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.

Jawab:
Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari’at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang ”tolol” semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah ini.


Pembacaan Buku-Buku Maulid

Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah. Al-Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai berikut:

وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ – وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.

“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang disebutkan oleh para ulama ahli hadits dalam karangan-karangan mereka yang khusus berbicara tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karya al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca. Padahal sebetulnya tidak mesti ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud, mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.


Kerancuan Faham Kalangan Anti Maulid

1. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)

“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)

Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)

“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)

Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas.
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم في صحيحه)

“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)

“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam.
Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.

Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?

2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.

Jawab:
Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً

“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.

3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”.

Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.

4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.

Jawab:
Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan. Target mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu.
Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?!
Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?! Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka. Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada.
Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal.
Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Amin.

Senin, 31 Januari 2011

Sejarah Ratib Al Haddad

Ratib Al-Haddad ini mengambil nama dari nama penyusunnya, yaitu Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad, seorang pembaharu Islam (mujaddid) yang terkenal. Daripada doa-doa dan zikir-zikir karangan beliau, Ratib Al-Haddad lah yang paling terkenal dan masyhur. Ratib yang bergelar Al-Ratib Al-Syahir (Ratib Yang Termasyhur) disusun berdasarkan inspirasi, pada malam Lailatul Qadar 27 Ramadhan 1071 Hijriyah (bersamaan 26 Mei 1661).
Ratib ini disusun bagi menunaikan permintaan salah seorang murid beliau, ‘Amir dari keluarga Bani Sa’d yang tinggal di sebuah kampung di Shibam, Hadhramaut. Tujuan ‘Amir membuat permintaan tersebut ialah untuk membentengi dengan suatu wirid dan zikir untuk amalan penduduk kampungnya agar mereka dapat mempertahan dan menyelamatkan diri daripada ajaran sesat yang sedang melanda Hadhramaut ketika itu.
Pertama kalinya Ratib ini dibaca ialah di kampung ‘Amir sendiri, yaitu di kota Shibam setelah mendapat izin dan ijazah daripada Al-Imam Abdullah Al-Haddad sendiri. Selepas itu Ratib ini dibaca di Mesjid Al-Imam Al-Haddad di Al-Hawi, Tarim dalam tahun 1072 Hijriah bersamaan tahun 1661 Masehi. Pada kebiasaannya ratib ini dibaca berjamaah bersama doa dan nafalnya, setelah solat Isya’. Pada bulan Ramadhan ia dibaca sebelum solat Isya’ bagi mengelakkan kesempitan waktu untuk menunaikan solat Tarawih. Mengikut Imam Al-Haddad di kawasan-kawasan di mana Ratib al-Haddad ini diamalkan, dengan izin Allah kawasan-kawasan tersebut selamat dipertahankan daripada pengaruh sesat tersebut.
Apabila Imam Al-Haddad berangkat menunaikan ibadah Haji, Ratib Al-Haddad pun mula dibaca di Makkah dan Madinah. Sehingga hari ini Ratib berkenaan dibaca setiap malam di Bab al-Safa di Makkah dan Bab al-Rahmah di Madinah. Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi pernah menyatakan bahawa sesiapa yang membaca Ratib Al-Haddad dengan penuh keyakinan dan iman dengan terus membaca “ La ilaha illallah” hingga seratus kali (walaupun pada kebiasaannya dibaca lima puluh kali), ia mungkin dikurniakan dengan pengalaman yang di luar dugaannya.
Beberapa perbedaan boleh didapati di dalam beberapa cetakan ratib Haddad ini terutama selepas Fatihah yang terakhir. Beberapa doa ditambah oleh pembacanya. Al Marhum Al-Habib Ahmad Masyhur bin Taha Al-Haddad memberi ijazah untuk membaca Ratib ini dan menyarankannya dibaca pada masa–masa yang lain daripada yang tersebut di atas juga di masa keperluan dan kesulitan. Mudah-mudahan barangsiapa yang membaca ratib ini diselamatkan Allah daripada bahaya dan kesusahan. Amin. 
donlot ratib al haddad disini